Monday, April 21, 2008

Pilkada dan Rasa Legowo

Sejak era reformasi didengungkan yang diikuti dengan berbagai kebijakan baru yang belum ada di era orde salah satunya mengenai penetapan kepala pemerintahan daerah hingga pusat melalui pemilihan umum, saat ini kepala daerah ditetapkan dengan cara pemilihan langsung bahkan presiden ditentukan lewat pemilihan langsung. Pemilihan langsung yang disebut juga pesta demokrasi ini rakyat bisa memilih langsung pemimpin yang dikehendaki ( meskipun kadang rakyat tidak mengenal calon yang dipilih ).
Beberapakali pilkada diselenggarakan di berbagai daerah baik pemilihan bupati, walikota dan gubernur, ada beberapa isu sama yang terjadi yaitu kampanye yang terlalu dini, politik uang, umbar janji dan kecurangan. Isu - isu ini seperti suatu merk dagang yang selalu melekat di perhelatan demokrasi tersebut. Belum pernah ada pilkada yang benar - benar dari isu - isu negatif tersebut. Itupun kalo bisa disebut negatif, masalahnya isu - isu tersebut seolah - olah telah menjadi bagian dari pesta demokrasi. Hal yang ironis justru ketika sudah dilakukan perhitungan suara, dan telah diperoleh calon yang memenangkan pemilu, selalu terjadi calon yang mengalami kekalahan menghembuskan isu kecurangan perhitungan suara. Isu terakhir ini sering mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat, bahkan di beberapa daerah menyebabkan kerusuhan yang dipicu rasa tidak puas karena kekalahan dalam pemilu.
Di alam demokrasi yang sehat tentunya perlu dipahami ada yang menang dan ada yang kalah. Yang menang seharus tidak merasa sewenang-wenang, dan yang kalah seharusnya menerima kekalahan dan mendukung calon yang menang. Karena yang memenangkan pemilu akan menjadi pemimpin. Masyarakat pemilih menginginkan suatu kondisi yang lebih baik, tenang dan harmonis. Bukan sebaliknya.
Sikap "legowo" dalam demokrasi adalah suatu sikap satria, bukan sikap sebagai orang yang kalah. Negara adalah milik rakyat, bukan milik dari pemerintah, pemerintah adalah abdi rakyat yang bertugas membuat rakyat lebih sederhana. Kondisi sebaliknya, yang memegang pemerintahan malah yang lebih sejahtera dari rakyat. Inilah potret demokrasi di republik tercinta. Ironis, Indonesia hanya "merasa" sebagai bangsa besar tetapi belum pernah menjadi bangsa yang besar. Apakah kita tidak ingin menjadi bangsa yang besar ? Pertanyaan sederhana untuk kita semua.